Kamis, 26 September 2019

Jasa Orang Tua Yang Tidak Mungkin Bisa di Balas Oleh Anak


Oleh: I Nyoman Santiawan

Om Swastyastu..

Kasih Ibu/Ayah kepada Beta..
tak terhingga sepanjang masa..
hanya memberi tak harap kembali..
bagai Sang Surya menyinari dunia..

Lagu di atas merupakan penggalan lagu legenda yang hampir semua orang pernah mendengar dan hafal lagu tersebut. Iyaa.. Kasih ibu/Oran Tua, begitu tulus dan sangat besar pada anaknya. Orang Tua tidak pernah berhitung dan memikirkan balasan yang diterima setiap mengasihi sang anak. Itulah orang tua, begitu besar pengorbanan untuk anak-anak mereka demi melihat anaknya tersenyum dan selalu bahagia. Tidak hanya itu, ada jasa besar yang lain yang tidak mungkin anak bisa membalasnya. Dalam kekawin Nitisastra 8.3 ada 5 Jasa besar orang tua untuk anaknya, apa saja itu??

1. Sang Ametaken = Orang yang melahirkan.

Perjuangan sang Ibu pada saat akan melahirkan anak begitu besar, nyawapun sebagai taruhannya. Begitu juga sang Ayah yang harus selalu mendampingi dan menyemangati Ibu supaya kuat dan yakin bisa melahirkan dengan baik dan lancar. Pada saat kondisi tersebut, ada rasa khawatir yang dirasakan, khawatir akan kesehatan Ibu maupun anak, khawatir akan hari esuk bisakah membesarkan anak dengan baik dan selalu membahagiakan sang anak, dan lain-lain.

2. Sang Matulung Urip

Ayah dan ibulah yang menyelamatkan jiwa, tidak hanya Jiwa saja, tetapi dari kita bayi sampai menikah merekalah yang menghidupi kita. Menyelamatkan jiwa bisa diartikan juga sebagai jembatan sang Jiwa ini untuk lahir kembali mendapatkan wadah baru guna menyelesaikan karma wasana yang masih melekat dalam Jiwa.

3. Maweh Bhinojana

Ayah dan ibulah yang memberi kita makan, mulai dari lahir, sang ibu merelakan kemolehan bodynya untuk sang anak, menyusui merupakan asuapan yang sangat baik bagi sang anak. tidak cukup sampai menyusui, setelah waktunya tiba, ayah ibu sudah disibukan untuk memikirkan makanan pendamping asi. Memilih dengan hati hati makanan yang benar-benar segar dan sehat dan mengolahnya harus bersih dan pas dengan masakan. Sampai sang anak menikah kemudian memiliki pekerjaan dan tempat tinggal yang tetap baru ayah dan ibu tenang jika ingin melepas sang anak untuk mencari makan dengan sendirinya.

4. Mangunpadyaya

Ayah dan ibu yang memberikan pendidikan untuk sang anak, baik dari kecil sampai dewasa. Sang ayah rela membanting tulang untuk bekerja keras demi pendidikan sang anak, begitu juga Ibu rela mengurungkan niatnya untuk menjadi wanita karir demi ikut membatu menjaga dan mendidik anak. Ayah dan Ibu tidak hanya memberikan pendidikan secara umum saja, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana membentuk karakter anak yang baik dan kuat yang diimbangi dengan pemahaman agama yang cukup sehingga sang anak tumbuh menjadi anak yang cerdas dan teguh imannya.

5. Ayangaskara

Ayah dan Ibu yang mengupacarai/Mendoakan anak. Bisa dibayangkan, bagaimana kesiapan dan ketulusan sang Ayah dan Ibu mengupacarai sang Anak, memohon agar sang anak tumbuh sehat dan cerdas. Jika kita lihat dari sudut tradisi ritual yang ada di dalam ajaran agama Hindu khususnya di Indonesia, banyak sekali ritual yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Mulai dari Upacara menggedong gedongan, lahiran, kepus/putus tali pusar, 42 hari, 3 bulanan, 1 otonan, 2 otonan, 3 otonan, metelah/potong rambut, Raja Singa, Raja Suwala, Potong Gigi sampai menikah. itulah rentetan panjang ritual/upacara yang dilakukan untuk sang anak. Banyak sekali dan sangat besar pengorbanan seorang Ayah dan Ibu bagi Anaknnya.

Uraian di atas, hendaknya menyadarkan kita betapa besarnya jasa orang tua kepada kita yang bahkan tidak bisa dibalas oleh kita. Oleh karena itu, kita berkewajiban untuk membahagiakan orang tua kita. Perbuatan yang Utama di dalam perbuatan utama adalah bagaimana kita bisa membahagiakan Ayah dan Ibu kita. Orang Tua kita adalah Tuhan kita yang Nyata di dunia ini, oleh sebab itu, bahagiakan, hormati, patuhi apa yang dikatakan orang tua kepada kita. Sebab, jika kita membuat kecewa orang tua, maka dapat dipastikan hidup kita tidak akan mencapai tujuan dan selamat.

Demikian, Semoga Bermanfaat..
Loka Samasta Sukhino Bhawantu,,
Om Santi Santi Santi OM..



Senin, 07 Januari 2019

Mendengarkan Dharma Wacana Bagian dari Bhakti untuk Tuhan


Mendengarkan Dharma Wacana Bagian dari Bhakti untuk Tuhan
Oleh: I Nyoman Santiawan

Menjalankan bhakti kepada Tuhan banyak cara, jika kita lihat dari Nawa Widha Bhakti ada 9 cara berbhakti kepada Tuhan. Satu dari 9 itu adalah Srawanam yang artinya mendengarkan wejangan dan saran-saran yang baik untuk meningkatkan srada dan bhakti kita kepada Tuhan. sebagian dari kita, masih ada yang menganggap bhakti itu dilakukan dengan bersembahyang saja. Ketika kita datang ke pura dalam acara pelaksanaan hari suci (persembahyangan Purnama, Tilem, Piodalan dan dll) sering kali hanya mementingkan pada persembahyangan saja. Sejatinya ada hal  lain dari rangkaian yang dilaksanakan merupakan bentuk bhakti yang tidak kalah pentingnya yaitu dharma wacana.

Hindu memiliki ajaran dan warisan yang sangat baik, setiap ajaran dan ritual yang dimiliki mengandung makna yang begitu luas dan mendalam. Dalam hal ritual/upacara yang biasa dilakukan oleh umat Hindu adalah dalam hal pelaksanan persembahyangan bersama baik itu persembayangan Purnama, Tilem, Piodalan da hari-hari suci lainya. Dalam persembahyangan itu ada rangkaiannya, mulai dari maturan bebantenan yang dipimpin oleh Pinandita/Pandita yang diiringi dengan kekidungan, pembacaan sloka, dharma wacana dan persembahyangan bersama.  Semua rangkaian itu harus kita lalui bersama-sama dengan baik termasuk mendengarkan dharma wacana.

Dharma wacana merupakan salah satu dari enam metode dalam pembinaan umat yang disebut Sad Dharma. Metode ini dilakukan untuk membina umat demi meningkatkan sradha umat dan militansi umat terhadap ajaran Hindu. Tetapi pada realitanya, banyak diantara kita masih menganggap Dhrama Wacana tidaklah terlalu penting. Terlihat kurang antuasiasnya umat mendengarkan Dharma Wacana, entah penyebanya karena kurang menarik, bosan, digoda teman untuk ngobrol atau sibuk dengan gadgetnya sendiri.

Jika dilihat, diamati dan dibandingkan dengan yang lain, kita masih kalah jauh antausianya dalam hal mendengarkan wejangan/dharma wacana dengan umat lain. Jika umat lain, siapapun yang berbicara didepan mereka akan mendengarkan dengan seksama, entah itu orangnya masih kecil, dianggap belum berpengalaman dll. Mungkin itu penyebabnya kita masih kalah jauh dari berbagai hal dengan yang lainya. Tetapi sejatinya, jika kita menjalankan ajaran Hindu dengan baik, Umat Hindu pasti menjadi yang terbaik diantara yang paling baik.

Mendengarkan Dharma Wacana merupakan bagian dari Bhakti kita kepada Tuhan, oleh karena itu, mari siapapun, kapanpun dan dimanapun ketika mendapatkan kesempatan mendengarkan dharma wacana dengarkan dan simak baik-baik penyampaian dharma wacana tersebut. Jangan sampai banyak hal yang baik terlewat dari kita dan jangan sampai gara-gara kita asik ngobrol dan ribut mengganggu oran lain dalam mendengarkan dharma wacana. Jadilah bermanfaat untuk orang lain, tidak sebaliknya. Karena orang yang baik adalah orang yang bisa memberi manfaat bagi orang lain. Seperti dalam sloka Bhagawad Gita 18.71:

“Sraddhawam anasuyas ca,
Sruyad api ya narah,
So’pi muktah subhal lokhan,
Prapnuyat punya karmanam”

Artinya:
Orang yang mempunyai keyakinan dan tidak mencela, orang seperti itu walaupun hanya sekedar mendengar, ia juga terbebas, mencapai dunia kebahagiaan manusia yang berbuat kebajikan.

Seperti itulah keutamaan orang yang mau mendengarkan orang lain, apalagi kita mendengarkan Dharma Wacana dengan baik, tentu ini menjadi berlipat-lipat kebaikan bagi kita dan orang lain. Segala yang baik sudah ada di dunia ini, hanya tergantung diri kita sendiri. Apakah akan mengambil semua kebaikan itu atau sebaliknya. Semoga bermanfaat.



Sabtu, 05 Januari 2019

Makna Hari Raya Kuningan


Makna Hari Raya Kuningan
Oleh: I Nyoman Santiawan


Hari raya Kuningan termasuk dalam golongan Naimitika Karma (Korban Suci yang dilakukan dengan jadual yang sudah ditentukan). Kuningan dirayakan setiap 210 hari pada Sabtu Kliwon wuku Kuningan dan 10 hari setelah perayaan Galungan. Jika kita lihat dari katanya, Kuningan berasal dari suku kata uning/nguningan yang artinya tahu/ berikrar. Jadi merayakan Kuningan berarti seharusnya kita senantiasa mengetahui Dharma (Kebenaran) dan berjanji untuk selalu mengutamakan Dharma (Kebenaran) dalam kehidupan ini. Inilah sebabnya mengapa Kuningan dirayakan setelah perayaan Galungan (kemenagan Dharma melawa Adharma).

Perayaan Kuningan dilaksanakan oleh umat Hindu pada pagi hari, karena pada pagi hari merupakan waktu yang terbaik untuk menguatkan guna Satwam (Kebijaksanaan) sebelum jam 12 siang. Pada saat pagi hari kita menghadirkan leluhur kita, kemudian siangnya kita perkenankan leluhur kembali lagi ke Swah Loka. Pelaksanaan Kuningan memiliki ciri khas tersendiri dalam sesaji atau simbol yang disertakan. Yaitu  Tamyang Endongan dan Nasi Kuning.

Tamyang merupakan simbol perlindungan yang artinya, dalam mengadapi masalah dan menjalani kehidupan ini kita gunakan kebenaran sebagai pelindung dari segala hal. Kemudian Endongan merupakan simbol bekal/perbekalan, artinya bekal dalam menjalani hidup bekal itu adalah kebenara (Dharma) sehingga dengan bekal Dharma manusia bisa mencapai tujuan hidup dengan baik. kemudian Nasi Kuning merupakan simbol kemakmuran dan kesejahteraan artinya dengan mengutamakan Dharma dan Dharma sebagai landasan kita menjalani kehiudpan ini maka kebahagiaan, kesejahteraan dan kemakmuranlah yang akan didapat.

Dengan merayakan hari raya Kuningan, mari berjanji/berikrar untuk selalu melaksanakan dharma dalam kehidupan ini. Karena hanya dharmalah yang memberikan kesejahteraan dan kemakmuran. Dharma ibarat matahari yang melenyapkan gelapnya dunia demikian orang yang melaksanakan dharma akan dapat memusnahkan segala dosa. Kita patut berterimakasih kepada leluhur kita, karena telah mewariskan nilai-nilai yang sangat penting bagi kehidupan ini. Sempatkan merayakan Kuningan dengan melakukan persembahyangan, memuja Tuhan supaya spiritual diri dan srada meningkat dalam melaksanakan Dharma. Seperti sloka Sarasamuscaya 19:

“Adalah orang yang tidak bimbang, bahkan budinya tetap teguh untuk mengikuti jalan pelaksanaan dharma; orang itulah yang sangat bahagia, kata orang yang berilmu, tidak akan menyebabkan kaum kerabat dan handai taulanya bersedih hati, meski ia sampai berkelana meminta-minta sedekah untuk menyambung hidupnya”

Seperti sloka di atas, seperti itulah hendaknya kita melaksanakan dharma itu, dan sudah menjadi kewajiban setiap manusia melaksanakan dharma karena hanya dengan dharma manusia bisa terhindar dari samsara/ kelahiran kembali dan mencapai kebahagiaan sejati (moksa).

Selamat merayakan Hari Kuningan dan bersyukurlah dilahirkan menjadi Hindu, karena Hindu memiliki ajaran yang fleksibel dan universal. Hindu tidak mengikat umatnya, Hindu memberikan kebebasan setiap umatnya untuk menjalankan ajarannya.

Selasa, 01 Januari 2019

Menjadi Sadhu


Menjadi Sadhu
Oleh: I Nyoman Santiawan


Om Swastyastu..

Kehidupan di dunia ini merupakan perjalanan yang cukup pendek dan penuh misteri, kebahagiaan dan kesedihan, kesuksesan dan kegagalan, kelancaran dan rintangan yang disebut Dualitas Kehidupan yang merupakan bumbu kehidupan. Sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, manusia memiliki Tri Pranama (Bayu, Sabda dan Idep), kemudian dengan Tri Premana inilah manusia bisa menjalani dan melewati proses kehidupan.

Dualitas kehidupan pasti akan dilalui dan dirasakan oleh setipa manusia, tak sedikit manusia yang terlena akan keberuntungan yang  didapat, tak sedikit pula manusia putus asa terhadap ketidakberuntungan yang didapat. Suatu hal yang wajar bila itu dirasakan oleh manusia, karena pada dasarnya manusia memiliki sifat yang dipengaruhi oleh Tri Guna.

Dalam ajaran Hindu, untuk melewati itu dengan baik sebenarnya banyak tuntunan dan ajaran yang bisa digunakan sebagai pemecah masalah, melewati rintangan dan mencapai tujuan adalah dengan cara tetaplah menjadi manusia yang Sadhu. Manusia Sadhu adalah orang yang bijaksana dan tekun menjalankan dharma.

Ada tiga hal yang paling dihindari oleh orang yang sadhu yaitu adalah, Rakus, Tidak Suka Bergaul dan Membenci Orang Lain. Ketiga sifat ini merupakan musuh orang yang Sadhu. Jika kita lihat, ketiga sifat itu merupakan sifat yang sangat merugikan, baik orang lain maupun diri sendiri. Sifat tidak suka bergaul dan membenci orang lain merupakan pemutus dan penutup untuk melakukan perbuatan baik kepada orang lain. Sifat rakus merupakan sifah yang akan membuat manusia tidak merasa cukup dengan apa yang dicapai dan dimilikinya, sehingga sering kali melakukan hal yang melanggar Dharma untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

Oleh karena itu, jauhilah ketiga sifat itu, karena sifat rakus, membenci orang lain dan tidak suka bergaul sangat merugikan diri kita maupun orang lain.  Dalam kitab suci Atharwa Weda dikatakan Tuhan sendiri akan menghancurkan orang-orang yang memiliki sifat Rakus, Tidak Suka Bergaul dan Membenci orang lain. Oleh karena itu, mari kita sebagai manusia yang pada dasarnya merupakan insa yang cenderung memilih berbuat baik untuk menghilangkan dan membunuh ketiga sifat itu, supaya kita bisa mencapai tujuan dan selamat dalam kehidupan ini.

Demikian semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan..
Om Santi Santi Santi OM..